"Jelajahi perpustakaan: literasi, pengetahuan, dan rekomendasi bacaan tanpa batas!"

Sabtu, 22 November 2025

Tantangan Profesi Pustakawan dan Perpustakaan di Era Digital: Penjaga Literasi, Penjaga Peradaban


Pustakawan bukan sekadar penjaga buku. Dalam konteks pendidikan dan kemajuan literasi nasional, pustakawan adalah penjaga pengetahuan, fasilitator literasi, dan penghubung informasi. National Library of Indonesia (Perpusnas RI) dalam berbagai siaran pers menyebut pustakawan sebagai bagian dari “penjaga peradaban” karena merekalah yang memastikan masyarakat terus terhubung dengan informasi yang kredibel, relevan, dan inklusif.

Namun, profesi pustakawan di Indonesia tidak terlepas dari tantangan yang kompleks: minimnya pengakuan, gaji yang belum ideal, transformasi digital yang begitu cepat, hingga kurangnya akses pengembangan kompetensi. Artikel ini membahas tantangan tersebut, dilengkapi pendekatan, studi kasus, dan insight dari praktik di lapangan.

1. Pustakawan sebagai Penjaga Literasi dan Penjaga Peradaban

Literasi tidak hanya berarti kemampuan membaca. Literasi kini mencakup literasi digital, informasi, data, hingga literasi budaya. Pustakawan berada di garis depan untuk memastikan masyarakat memiliki kemampuan tersebut. Peran pustakawan mencakup:

1.1 Kurator Informasi

Pustakawan memastikan konten yang disediakan perpustakaan:

  • akurat,

  • aman diakses,

  • relevan dengan kebutuhan pengguna.

1.2 Edukator Literasi

Dari perpustakaan sekolah hingga akademik, pustakawan melatih:

  • cara mencari informasi,

  • cara mengevaluasi sumber,

  • cara menghindari plagiarisme,

  • cara membuat karya tulis.

1.3 Agen Transformasi Sosial

Di banyak desa, pustakawan menjadi:

  • penggerak literasi,

  • fasilitator kelas UMKM,

  • penyelenggara kegiatan komunitas,

  • penyedia akses informasi bagi masyarakat yang tidak punya gawai atau internet stabil.

Dengan peran sebesar ini, idealnya profesi pustakawan mendapatkan dukungan maksimal. Sayangnya, realitas di lapangan masih penuh tantangan.

2. Tantangan Utama Profesi Pustakawan di Indonesia

2.1 Rendahnya Pengakuan Profesi

Banyak masyarakat menganggap pustakawan hanya “penjaga buku” atau “penjaga ruangan”. Padahal, pendidikan pustakawan minimal D3/S1 Ilmu Perpustakaan, dengan kompetensi:

  • organisasi informasi,

  • klasifikasi,

  • katalogisasi,

  • manajemen koleksi,

  • literasi informasi,

  • pengelolaan repositori,

  • hingga manajemen layanan digital.

Minimnya pemahaman ini membuat pustakawan tidak dipandang sebagai profesi strategis.

2.2 Gaji dan Tunjangan yang Belum Memadai

Kesenjangan ini terlihat jelas antara:

  • pustakawan sekolah,

  • pustakawan daerah,

  • pustakawan di perpustakaan nasional,

  • pustakawan perguruan tinggi.

Banyak pustakawan sekolah tidak memiliki tunjangan khusus atau status yang jelas, terutama di sekolah swasta dan sekolah dasar. Dampaknya:

  • motivasi kerja menurun,

  • sulit mengikuti pelatihan berbayar,

  • kurang dukungan fasilitas.

Beberapa pustakawan bahkan merangkap 2–3 pekerjaan administratif—alhasil fokus pelayanan perpustakaan menjadi terganggu.

2.3 Transformasi Digital yang Berjalan Cepat

Era digital membawa kebutuhan baru:

  • otomasi perpustakaan,

  • perpustakaan digital,

  • manajemen konten online,

  • media sosial literasi,

  • e-resources,

  • repository dan open science.

Sayangnya, banyak perpustakaan belum siap, terutama di sekolah dan perpustakaan desa.

Tantangannya meliputi:

  • minimnya anggaran,

  • perangkat komputer terbatas,

  • jaringan internet tidak stabil,

  • kurang kompetensi digital pustakawan.

2.4 Pengembangan Kompetensi yang Terbatas

Akses pelatihan profesional sering kali:

  • berbayar mahal,

  • terpusat di kota besar,

  • tidak merata untuk pustakawan sekolah.

Padahal, pustakawan perlu menguasai:

  • literasi digital,

  • literasi informasi,

  • publikasi konten,

  • storytelling,

  • desain grafis,

  • editing video,

  • penggunaan platform perpustakaan digital (SLiMS, Inlislite, e-Library),

  • cybersecurity dasar.

Ketika kompetensi tidak tumbuh, kualitas layanan sulit bersaing dengan sumber digital seperti Google atau YouTube.

2.5 Minimnya Promosi Kelembagaan

Banyak perpustakaan tidak memiliki:

  • website,

  • katalog online,

  • akun Instagram perpustakaan,

  • aktivitas literasi yang berkelanjutan.

Akibatnya, masyarakat tidak tahu layanan apa saja yang tersedia.

3. Studi Kasus: Perpustakaan Sekolah Dasar

Studi kasus berikut menggambarkan tantangan nyata pustakawan sekolah.

3.1 Kondisi Umum

Di banyak sekolah dasar:

  • pustakawan merangkap tugas administrasi, operator sekolah, guru kelas, atau guru piket,

  • jam kerja perpustakaan terbatas,

  • koleksi tidak berkembang setiap tahun karena keterbatasan BOS,

  • belum ada pustakawan profesional (banyak hanya petugas perpustakaan).

3.2 Dampaknya

  • layanan literasi tidak optimal,

  • siswa tidak terbiasa membaca,

  • kegiatan perpustakaan monoton (hanya peminjaman/pengembalian),

  • koleksi tidak sesuai kebutuhan kurikulum terbaru.

3.3 Contoh Praktik Baik

Sebagian sekolah yang memiliki pustakawan profesional dan dukungan kepala sekolah berhasil menjalankan program:

  • Storytelling mingguan,

  • Gerobak Literasi keliling kelas,

  • Pojok Baca di setiap ruang kelas,

  • Katalog online berbasis SLiMS,

  • Konten Instagram tentang literasi (review buku, rekomendasi bacaan).

Ini bukti bahwa ketika pustakawan diberi ruang, perpustakaan dapat menjadi pusat kegiatan belajar yang hidup.

4. Kompetensi Baru yang Harus Dimiliki Pustakawan Modern

4.1 Social Media Management

Pustakawan kini harus mampu:

  • membuat konten literasi,

  • membuat poster digital,

  • membuat video pendek edukasi,

  • mengelola akun Instagram, TikTok, atau YouTube perpustakaan,

  • menulis caption menarik.

Ini penting untuk menarik generasi digital terutama Gen Z yang sudah terbiasa mencari informasi di media sosial.

4.2 Manajemen Konten & Public Speaking

Pustakawan yang mampu:

  • melakukan storytelling,

  • menjadi moderator diskusi,

  • melatih literasi digital,

  • membuat workshop kecil,

akan lebih dihargai dan dibutuhkan komunitas.

4.3 Automasi Perpustakaan

Wajib memahami:

  • SLiMS,

  • Inlislite,

  • e-library,

  • digital repository.

4.4 Data Literacy

Pustakawan perlu bisa membaca data peminjaman, preferensi pengguna, dan tren koleksi untuk menentukan pengembangan koleksi yang tepat.

4.5 Cybersecurity Dasar

Untuk menjaga keamanan data pengguna, terutama pada perpustakaan digital.

5. Kampanye Profesionalisasi Pustakawan: Apa yang Perlu Dilakukan?

5.1 Penguatan Kebijakan

Perlu ada:

  • tunjangan profesi pustakawan,

  • standar beban kerja yang jelas,

  • program sertifikasi berkelanjutan melalui Perpusnas RI.

5.2 Magnet Profesi untuk Anak Muda

Dengan menekankan:

  • karier pustakawan digital,

  • manajemen arsip modern,

  • digital humanities,

  • curator konten.

Profesi ini bisa menarik Gen Z yang kreatif dan tech-savvy.

5.3 Kolaborasi Komunitas Literasi

Pustakawan dapat bermitra dengan:

  • komunitas book club,

  • BookTok creator,

  • pegiat literasi desa,

  • penerbit,

  • penulis lokal.

Kolaborasi membuat perpustakaan lebih hidup dan relevan.

5.4 Penguatan melalui Media Sosial

Mempromosikan kegiatan pustakawan:

  • “Sehari Bersama Pustakawan”

  • “Review Buku Minggu Ini”

  • “Pojok Cerita Anak”

  • “Belajar SLiMS dalam 5 Menit”

Hal ini meningkatkan citra profesi di mata publik.

6. Wawancara Mini: Suara Pustakawan di Lapangan

“Pekerjaan ini bukan soal menjaga buku, tetapi menjaga masa depan anak-anak. Saya ingin mereka punya akses bacaan lebih luas daripada saya dulu.”
Ani, Pustakawan SD di Jawa Tengah

“Saya harus belajar Canva, video editing, dan media sosial karena anak-anak sekarang lebih tertarik konten visual. Kalau pustakawan tidak ikut berubah, perpustakaan akan sepi.”
Dian, Pustakawan Perguruan Tinggi

“Tantangan terbesar kami bukan minimnya fasilitas, tetapi minimnya pemahaman bahwa pustakawan adalah tenaga profesional.”
Rudi, Pustakawan Dinas Perpustakaan Daerah

7. Kesimpulan

Pustakawan adalah penjaga literasi dan penjaga peradaban. Tanpa pustakawan, perpustakaan hanyalah ruang penuh buku yang tidak hidup. Tantangan yang dihadapi profesi pustakawan hari ini sangat kompleks: pengakuan rendah, gaji tidak memadai, kompetensi digital yang harus terus ditingkatkan, serta transformasi perpustakaan yang begitu cepat.

Namun, tantangan ini juga membuka peluang besar. Pustakawan modern kini tidak hanya bekerja di balik meja, tetapi juga di dunia digital, media sosial, komunitas, dan kelas-kelas literasi. Dengan dukungan kebijakan, kolaborasi komunitas, dan pengembangan kompetensi, pustakawan Indonesia dapat berperan lebih strategis sebagai agen perubahan literasi.




Sumber Referensi 

  1. Perpusnas RI – Siaran Pers Tentang Penguatan Profesi Pustakawan & Hari Kunjung Perpustakaan.

  2. Kemendikbudristek – Gerakan Literasi Nasional.

  3. UNESCO – Librarians and Knowledge Professionals in Digital Era.

  4. International Federation of Library Associations (IFLA) – Key Competencies for Librarians.

  5. Analisis & Wawancara Lapangan (simulasi) dengan pustakawan sekolah dan dinas perpustakaan daerah.

logoblog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar