Perilaku membaca masyarakat Indonesia sedang memasuki fase baru: era ketika buku tidak hanya ditemukan di perpustakaan atau toko buku, tetapi juga “muncul” lewat layar smartphone melalui TikTok, Instagram, YouTube, hingga rekomendasi otomatis kecerdasan buatan (AI). Fenomena seperti BookTok, ulasan singkat berdurasi 10 detik, dan sistem rekomendasi berbasis AI mengubah cara generasi muda menemukan, memilih, dan membicarakan buku.
Di tengah perubahan ini, perpustakaan, guru, pustakawan, orang tua, serta penulis menghadapi tantangan dan peluang besar. Artikel ini membahas bagaimana media sosial memengaruhi minat baca, bagaimana AI ikut mengubah ekosistem literasi, serta apa yang harus disiapkan perpustakaan untuk masa depan.
1. Ledakan Tren Membaca Lewat Media Sosial
1.1 BookTok: Marketplace Emosi, Bukan Hanya Bacaan
Fenomena BookTok di TikTok membuat banyak buku baik lokal maupun internasional viral hanya melalui potongan video emosional berdurasi 5–15 detik. Buku yang biasanya membutuhkan marketing mahal, kini bisa menjadi bestseller hanya karena satu video dengan komentar penuh respon emosional.
Contoh buku yang viral melalui BookTok:
-
The Love Hypothesis – Ali Hazelwood
-
It Ends With Us – Colleen Hoover
-
Laut Bercerita – Leila S. Chudori (viral di TikTok Indonesia, IG Reels)
-
Anak Semua Bangsa – Pramoedya A. Toer (tren membaca klasik meningkat)
BookTok menciptakan ekosistem baru: membaca bukan hanya aktivitas intelektual, melainkan budaya sosial—mirip dengan K-Pop fandom.
2. Dampak Media Sosial terhadap Kebiasaan Membaca
Fenomena ini memiliki dua sisi: positif dan negatif.
2.1 Dampak Positif
a. Akses Informasi Menjadi Lebih Mudah
Sebelumnya, rekomendasi buku hanya bisa diperoleh dari perpustakaan, guru, atau teman. Kini, anak-anak dan remaja bisa menemukan ratusan judul hanya dengan scroll 1 menit.
b. Minat Baca Meningkat di Kalangan Gen Z
Badan Bahasa dan Perpusnas (2023–2024) melaporkan minat baca naik dan dipengaruhi konten digital. Fakta menarik:
-
Gen Z lebih suka format ringkas, visual, dan emosional.
-
Mereka cenderung membeli buku setelah melihat ulasan di TikTok/Instagram.
c. Literasi Visual & Digital Ikut Berkembang
Membaca tidak selalu melalui teks panjang. Kini:
-
Infografis
-
Komik digital
-
Webtoon
-
Caption edukatifSemua merupakan bentuk literasi baru.
2.2 Dampak Negatif
a. Konten Berlebihan & Clickbait
Banyak ulasan buku yang tidak akurat, terlalu dramatis, atau bahkan menyesatkan.
b. Ketergantungan pada “buku viral”
Pembaca cenderung mencari buku viral, bukan buku berkualitas atau sesuai kebutuhan belajar.
c. Overstimulasi Media Sosial
Durasi perhatian (attention span) makin pendek, sehingga:
-
Anak sulit membaca buku panjang
-
Cenderung melewatkan teks kompleks
-
Fokus menurun saat belajar
d. Risiko disinformasi literasi digital
AI generatif dan influencer bisa membuat ringkasan palsu atau ulasan tidak faktual tentang buku sejarah, sains, atau isu sosial.
3. Peran AI dalam Ekosistem Literasi Modern
AI tidak hanya memengaruhi perilaku membaca, tetapi juga cara masyarakat mengakses dan memproduksi konten.
3.1 Sistem Rekomendasi Buku Berbasis AI
Perpustakaan modern mulai menggunakan algoritma untuk:
-
menganalisis preferensi pengguna
-
memberikan rekomendasi otomatis
-
menghubungkan pembaca dengan genre baru
Contoh platform internasional:
-
Goodreads Recommendation Engine
-
StoryGraph (AI-based mood tracking)
Potensi di Indonesia:
-
aplikasi baca digital seperti iPusnas dapat mengintegrasikan rekomendasi berbasis AI.
3.2 AI sebagai Asisten Belajar dan Literasi
AI dapat digunakan untuk:
-
membuat ringkasan bab
-
membuat latihan membaca
-
menjelaskan konsep sulit dengan bahasa anak
-
membuat rekomendasi tingkat kemampuan membaca
AI juga dapat membantu guru/pustakawan membuat materi literasi yang personal.
Risiko:
-
ketergantungan pada ringkasan AI
-
plagiarisme
-
kurangnya kemampuan berpikir kritis
4. AR, VR, dan Buku Anak Masa Depan
Bacaan anak akan berkembang melalui teknologi:
-
Augmented Reality (AR) pada buku cerita (contoh: karakter hidup saat dipindai)
-
Edukasi interaktif (suara, animasi, game)
-
AI Story Generator yang membuat cerita personal untuk setiap anak
Kelebihan:
-
meningkatkan keterlibatan anak
-
cocok untuk anak yang sulit fokus
Tantangan:
-
konten harus aman dan ramah anak
-
orang tua harus tetap mengawasi
-
risiko paparan layar berlebihan
5. Tantangan Literasi di Era AI
5.1 Disinformasi Literasi
Buku digital, blog, dan AI dapat menyebarkan informasi salah tentang:
-
sejarah
-
kesehatan
-
isu sosial
-
politik
Pembaca perlu:
-
berpikir kritis
-
cek fakta
-
tidak hanya mengandalkan AI
5.2 Krisis Konsentrasi
Kebiasaan membaca pendek di media sosial mengurangi kemampuan membaca mendalam.
5.3 Ketidakseimbangan Buku Fisik vs Digital
Anak yang terlalu sering menggunakan gadget bisa kehilangan kemampuan membaca linear (line-by-line reading).
6. Bagaimana Perpustakaan Merespon Era AI dan Media Sosial
Perpustakaan harus bertransformasi menjadi ruang digital dan kreatif, bukan hanya tempat meminjam buku.
6.1 Program Literasi Digital
Perpustakaan bisa mengadakan:
-
kelas literasi digital anak & remaja
-
workshop “AI untuk Belajar”
-
pelatihan cek fakta
-
kampanye anti-hoaks
6.2 Mengoptimalkan Media Sosial
Perpustakaan perlu memiliki:
-
akun TikTok
-
Instagram Reels
-
konten kreatif: rekomendasi buku, reading challenge, review video 15 detik
6.3 “AI Corner” di Perpustakaan
Fasilitas masa depan:
-
komputer dengan AI edukatif
-
chatbot AI untuk rekomendasi buku
-
pencarian katalog pintar (AI catalog search)
6.4 Kolaborasi dengan Komunitas BookTok
Pustakawan bisa:
-
mengundang kreator konten literasi
-
membuat event baca bersama
-
membuat ruang foto/reading spot aesthetic
6.5 Kurasi Buku dan Pengendalian Konten
Karena banyak buku viral tidak cocok untuk anak/remaja, perpustakaan harus:
-
melakukan kurasi isi
-
membuat label usia
-
menyediakan “parental guide”
-
menyediakan buku alternatif yang aman
7. Peran Orang Tua & Guru dalam Literasi Digital Anak
Orang tua dan guru memegang peran penting dalam membimbing anak agar:
-
tidak hanya membaca buku viral
-
tetapi memilih bacaan berkualitas
-
mampu memahami informasi digital secara kritis
-
mampu mengelola waktu layar
Cara praktis:
-
Membacakan buku 15–20 menit sehari.
-
Mengobrol tentang apa yang dibaca anak.
-
Menggunakan aplikasi baca digital dengan kontrol orang tua.
-
Memperkenalkan anak pada buku fisik + digital.
-
Mengajari anak prinsip “cek sumber informasi”.
8. Masa Depan Literasi: Maju, Asal Beriring Teknologi & Etika
Teknologi—baik media sosial maupun AI tidak akan menggantikan manusia, tetapi justru memperluas cara manusia membaca, belajar, dan berbagi cerita. Tantangannya adalah bagaimana kita memastikan anak, remaja, dan masyarakat umum:
-
tidak tersesat dalam disinformasi
-
tidak kehilangan kemampuan membaca mendalam
-
tetap mencintai membaca, bukan hanya scrolling
Perpustakaan, sekolah, dan orang tua harus bekerja sama menciptakan ekosistem literasi yang seimbang: human + teknologi + buku fisik + digital.
Sumber Referensi
-
Perpustakaan Nasional RI. Statistik Literasi & Tingkat Kunjungan (2023–2024).
-
UNESCO. “Reading Trends and Digital Literacy.”
-
TikTok BookTok Trends Report (2023–2024).
-
Kompas. Artikel Minat Baca dan Pengaruh Media Sosial (2024).
-
Badan Bahasa Indonesia. Laporan Indeks Literasi (2023–2024).
-
The StoryGraph. “AI-Based Book Recommendation System.”
-
American Library Association. “AI and the Future of Libraries.” (2023–2024).
-
Common Sense Media. “Children’s Media Use & Effects.” (2022–2023).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar