Jelajahi dunia perpustakaan, tempat inspirasi, pengetahuan, dan petualangan literasi tanpa batas!

Jumat, 15 November 2024

Tantangan dan Transformasi Perpustakaan Sekolah Dasar di Indonesia, Dari Minimnya Fasilitas hingga Kurikulum Berbasis Literasi

Pustakawan di sekolah dasar di Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam menjalankan tugas mereka, yang dapat dikelompokkan menjadi beberapa masalah utama:

1. Keterbatasan Anggaran dan Fasilitas

  • Minimnya alokasi dana untuk perpustakaan: Anggaran sekolah sering kali lebih diprioritaskan untuk kegiatan pembelajaran atau fasilitas fisik. Akibatnya, pembaruan koleksi buku, peralatan, atau teknologi perpustakaan menjadi terbatas.
  • Kurangnya sumber daya untuk pelatihan: Tidak ada dana yang memadai untuk pengembangan keterampilan pustakawan, terutama dalam bidang digital.

Banyak perpustakaan sekolah dasar tidak memiliki anggaran yang memadai untuk pembelian koleksi buku, perangkat teknologi, atau perawatan fasilitas. Sebagian perpustakaan bahkan tidak memiliki gedung khusus atau ruang yang strategis, yang mengurangi daya tarik dan kenyamanan siswa.

2. Kurangnya Tenaga Profesional

  • Pustakawan tanpa latar belakang pendidikan perpustakaan: Banyak pustakawan di SD adalah guru atau staf sekolah yang ditugaskan merangkap sebagai pengelola perpustakaan tanpa keahlian khusus di bidang ini.
  • Beban kerja ganda: Di banyak sekolah, pustakawan juga harus menjalankan tugas administrasi atau pengajaran, yang mengurangi fokus pada pengelolaan perpustakaan.
  • Beberapa perpustakaan sekolah dikelola oleh tenaga non-profesional atau guru yang ditugaskan tanpa pelatihan khusus di bidang perpustakaan. Hal ini memengaruhi kualitas layanan dan pengelolaan koleksi bahan pustaka.

    3. Koleksi Buku yang Terbatas dan Tidak Beragam

    • Koleksi buku sering kali tidak memadai, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Buku-buku yang ada mungkin sudah usang, kurang relevan, atau tidak menarik bagi siswa.
    • Minimnya koleksi yang mendukung literasi digital atau buku bacaan berbahasa daerah.

    4. Kurangnya Infrastruktur yang Memadai dan Minimnya Inovasi dan Adaptasi Teknologi

    • Banyak perpustakaan sekolah yang tidak memiliki ruang khusus atau desain yang nyaman. Sebagian besar hanya berupa ruangan kecil yang tidak kondusif untuk membaca.
    • Tidak adanya fasilitas teknologi seperti komputer atau akses internet untuk mendukung literasi digital.

    Di era digital, perpustakaan dituntut untuk menyediakan akses ke sumber daya elektronik dan kegiatan berbasis teknologi. Namun, banyak pustakawan belum mampu memanfaatkan teknologi ini secara optimal karena kurangnya pelatihan atau akses terhadap perangkat teknologi.

    4. Dukungan yang Terbatas dari Manajemen Sekolah/Kurangnya Kolaborasi dengan Guru

    Keterlibatan kepala sekolah dan guru sering kali kurang optimal dalam mendukung pengembangan perpustakaan. Padahal, integrasi perpustakaan dengan kurikulum, seperti dalam Kurikulum Merdeka, membutuhkan kolaborasi lintas peran untuk menciptakan pembelajaran yang berbasis proyek dan literasi. Guru sering kali tidak melibatkan perpustakaan dalam proses pembelajaran, sehingga perpustakaan dianggap hanya sebagai tempat menyimpan buku, bukan sebagai bagian dari pengajaran.

    5. Rendahnya Minat dan Kesadaran Literasi/Rendahnya Minat Baca Siswa

    • Budaya membaca belum terbangun: Banyak siswa lebih tertarik pada gawai dibandingkan buku.
    • Kurangnya kegiatan literasi yang menarik: Tidak ada program inovatif yang mampu membangun kebiasaan membaca.

    Banyak siswa dan guru memandang perpustakaan hanya sebagai tempat peminjaman buku, sehingga tidak banyak kegiatan yang memanfaatkan perpustakaan sebagai pusat pembelajaran dan literasi kreatif. Hal ini juga menjadi tantangan dalam menghidupkan perpustakaan sebagai ruang diskusi atau eksplorasi pengetahuan.

    6. Tantangan Profesionalisme dan Kebijakan yang Tidak Optimal

    • Tidak semua sekolah memiliki kebijakan yang mendukung pengelolaan perpustakaan secara serius.
    • Belum adanya pengawasan dan pembinaan yang konsisten dari dinas terkait.

    Pustakawan sering kali tidak memiliki akses yang memadai untuk pelatihan pengembangan profesional berkelanjutan (Continuing Professional Development/CPD), yang penting untuk meningkatkan kompetensi mereka dalam menghadapi perubahan kebutuhan literasi dan informasi.

    Meski demikian, terdapat upaya dari berbagai pihak, termasuk Kemendikbudristek, untuk mentransformasi perpustakaan sekolah menjadi lebih relevan dan interaktif, misalnya dengan mengadopsi pembelajaran berbasis proyek serta menyediakan pelatihan bagi tenaga perpustakaan.


    Solusi Potensial:

    • Pelatihan profesional untuk pustakawan SD.
    • Kerja sama dengan komunitas atau donatur untuk meningkatkan koleksi dan fasilitas.
    • Inovasi program literasi, seperti storytelling, klub buku, atau integrasi teknologi.
    • Peran aktif sekolah dalam menjadikan perpustakaan sebagai bagian sentral dari kegiatan belajar.

    Masalah-masalah ini menantang, tetapi dengan dukungan dari berbagai pihak, perpustakaan SD bisa menjadi pusat pembelajaran yang efektif.




    Sumber Referensi:

    1. Artikel tentang transformasi pustakawan oleh Kemendikbudristek
    2. Penelitian pengelolaan perpustakaan sekolah
    3. Informasi tentang pengembangan profesional pustakawan
    logoblog

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar