Dalam ekosistem pendidikan, informasi, dan literasi modern, pustakawan memegang peranan yang jauh lebih besar dibanding sekadar “penjaga buku”. Mereka adalah pengelola informasi, pendidik literasi, fasilitator belajar, kurator pengetahuan, dan penggerak komunitas. Namun kenyataannya, peran pustakawan sering kali kurang diperhatikan, kurang dipahami, bahkan tidak jarang dianggap sebagai fungsi administratif yang sederhana.
Karena itu, mengadvokasi peran pustakawan menjadi langkah strategis untuk memperkuat profesi, meningkatkan pengakuan institusional, dan memastikan kontribusi perpustakaan diakui sebagai bagian penting dari pembangunan literasi nasional. Artikel ini mengulas mengapa advokasi pustakawan penting, bagaimana strategi melakukannya, serta bukti penelitian yang mendukung penguatan profesi pustakawan.
1. Mengapa Advokasi Pustakawan Penting?
a. Perubahan zaman mengubah lanskap informasi
Ketersediaan informasi yang sangat luas di internet sering dianggap “menggantikan” peran perpustakaan dan pustakawan. Padahal, menurut ALA (American Library Association, 2020), ledakan informasi justru meningkatkan kebutuhan akan ahli informasi yang mampu menyeleksi, mengevaluasi, dan mengarahkan pengguna dalam menemukan informasi yang kredibel.
Pustakawan kini memegang peran penting dalam:
-
literasi informasi,
-
literasi digital,
-
literasi media,
-
literasi data,
-
pengelolaan pengetahuan (knowledge management).
Jika fungsi ini tidak dipahami publik, pustakawan akan terus dianggap kurang relevan dalam era digital.
b. Minimnya pemahaman publik tentang peran pustakawan
Survei Perpusnas RI (2022) menunjukkan bahwa sebagian masyarakat masih menganggap tugas utama pustakawan hanya "mengurus buku". Persepsi ini menurunkan apresiasi dan dukungan institusi terhadap pengembangan profesi pustakawan.
Advokasi diperlukan agar:
-
kepala sekolah memahami pentingnya pustakawan dalam peningkatan literasi siswa,
-
pemerintah daerah memberi dukungan anggaran,
-
masyarakat memandang pustakawan sebagai pendidik informasi,
-
dunia pendidikan memanfaatkan peran pustakawan secara optimal.
c. Pustakawan berkontribusi langsung pada prestasi akademik
Penelitian Lance & Kachel (2018) menemukan bahwa sekolah yang memiliki pustakawan bersertifikat dan perpustakaan yang aktif cenderung memiliki nilai membaca yang lebih tinggi.
Di Indonesia, studi Ardiansyah (2020) pada perpustakaan sekolah menunjukkan bahwa program literasi yang dikelola pustakawan berpengaruh signifikan terhadap:
-
peningkatan minat baca,
-
kemampuan memahami teks,
-
kebiasaan membaca kontinyu.
Temuan ini memperkuat perlunya advokasi agar kepala sekolah dan dinas pendidikan memberi perhatian terhadap layanan perpustakaan.
2. Bentuk Peran Pustakawan Modern yang Perlu Diadvokasi
a. Pustakawan sebagai pendidik (teacher-librarian)
Pustakawan bukan hanya penyedia bahan bacaan, tetapi:
-
mengajarkan literasi informasi,
-
melatih siswa mencari sumber kredibel,
-
membantu guru mendesain pembelajaran berbasis proyek,
-
menjadi mitra kurikulum sekolah.
Menurut IFLA (2015), kolaborasi pustakawan guru adalah salah satu indikator keberhasilan literasi generasi muda.
b. Pustakawan sebagai pengelola informasi digital
Di era digital, pustakawan mengelola:
-
basis data elektronik,
-
repositori digital,
-
layanan e-book dan e-journal,
-
platform literasi digital,
-
kurasi konten daring yang aman.
Peran ini jarang disadari oleh pemangku kebijakan, sehingga advokasi diperlukan untuk menegaskan kemampuan pustakawan dalam aspek teknologi informasi.
c. Pustakawan sebagai penggerak komunitas
Dalam banyak komunitas literasi, pustakawan menjadi:
-
penyelenggara kelas membaca,
-
fasilitator diskusi buku,
-
pembimbing klub literasi,
-
penggerak kegiatan kampanye membaca.
Bahkan di beberapa daerah, pustakawan memfasilitasi library outreach ke sekolah atau desa, membuktikan bahwa perpustakaan bukan hanya gedung, tetapi layanan.
d. Pustakawan sebagai mitra manajemen sekolah atau lembaga
Sebagai pengelola pengetahuan, pustakawan berperan dalam:
-
administrasi data pengetahuan institusi,
-
dokumentasi pembelajaran,
-
pengembangan arsip,
-
inovasi berbasis informasi.
Peran ini jarang terlihat, tetapi sangat strategis untuk tata kelola sekolah.
3. Strategi Mengadvokasi Peran Pustakawan
a. Kampanye publik melalui konten digital
Pustakawan perlu:
-
membuat konten edukatif di media sosial,
-
menampilkan kegiatan perpustakaan,
-
menunjukkan dampak program literasi,
-
mengedukasi masyarakat tentang literasi informasi.
Penelitian Nasrullah (2023) menunjukkan bahwa kampanye literasi digital di media sosial meningkatkan engagement publik hingga 40%.
b. Kolaborasi dengan guru dan kepala sekolah
Agar pustakawan memperoleh dukungan:
-
libatkan kepala sekolah dalam program literasi,
-
sediakan laporan perkembangan literasi siswa secara berkala,
-
ajak guru merancang RPP yang melibatkan bahan perpustakaan.
Keberhasilan program literasi jauh lebih besar jika perpustakaan berada dalam satu sistem dengan kurikulum.
c. Menyusun laporan berbasis data
Setiap pustakawan sebaiknya memiliki:
-
laporan pengunjung perpustakaan,
-
jumlah buku dipinjam,
-
data peningkatan kemampuan membaca,
-
dokumentasi kegiatan literasi.
Data konkret adalah alat advokasi paling kuat di hadapan pimpinan lembaga atau pemerintah.
d. Meningkatkan kompetensi diri
Advokasi internal memerlukan kepercayaan diri dan kompetensi, sehingga pustakawan perlu:
-
mengikuti pelatihan,
-
mempelajari literasi digital,
-
memiliki sertifikasi profesi,
-
mengikuti webinar dan workshop kepustakawanan.
Pustakawan yang kompeten lebih mudah mendapatkan pengakuan.
e. Membangun jejaring profesional
Pustakawan dapat memperkuat advokasi melalui:
-
Forum Perpustakaan Sekolah,
-
organisasi profesi seperti IPI,
-
komunitas literasi lokal,
-
forum MGMP atau KKG.
Jejaring memperkuat suara profesional di tingkat kebijakan.
4. Kendala dalam Advokasi Peran Pustakawan
Walau semakin banyak pustakawan memahami pentingnya advokasi, beberapa tantangan masih muncul:
a. Kurangnya dukungan institusional
Beberapa sekolah atau lembaga masih memandang perpustakaan sebagai pelengkap, bukan pusat pembelajaran. Akibatnya:
-
anggaran terbatas,
-
pustakawan merangkap banyak tugas,
-
koleksi tidak diperbarui.
b. Minimnya regulasi yang ditegakkan
Peraturan tentang perpustakaan sekolah sebenarnya sudah ada, seperti UU Perpustakaan No. 43 Tahun 2007. Namun implementasinya belum merata.
c. Persepsi profesi yang belum kuat
Profesi pustakawan kurang populer karena:
-
publik kurang mengetahui kompetensinya,
-
media jarang mengangkat profesi ini,
-
stigma “penjaga rak buku”.
5. Mengapa Advokasi Pustakawan Penting bagi Masa Depan Literasi Indonesia?
Indonesia masih menghadapi tantangan literasi berdasarkan hasil PISA 2022 yang menunjukkan kemampuan membaca siswa Indonesia masih di bawah rata-rata OECD. Perpustakaan sekolah yang aktif, pustakawan kompeten, dan program literasi berbasis perpustakaan terbukti mampu:
-
meningkatkan minat baca,
-
memperbaiki pemahaman teks,
-
mengembangkan keterampilan berpikir kritis,
-
mendukung budaya belajar sepanjang hayat (lifelong learning).
Dengan demikian, mengadvokasi peran pustakawan adalah strategi langsung untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Kesimpulan
Mengadvokasi peran pustakawan bukan hanya upaya memperkuat profesi, tetapi juga strategi penting untuk meningkatkan mutu literasi Indonesia. Pustakawan memiliki peran besar dalam pendidikan, teknologi informasi, manajemen pengetahuan, dan pengembangan komunitas. Namun tanpa advokasi aktif baik melalui kampanye publik, data kinerja, kolaborasi, maupun peningkatan kompetensi peran ini tidak akan terlihat dan tidak akan mendapatkan dukungan yang memadai.
Ketika pustakawan dihargai, diberdayakan, dan difungsikan secara optimal, perpustakaan menjadi pusat literasi yang hidup, dan generasi pelajar Indonesia dapat tumbuh dengan kemampuan literasi yang lebih baik.
Daftar Referensi
- American Library Association. (2020). The State of America's Libraries Report. ALA Press.
- Ardiansyah, A. (2020). Pengaruh Program Literasi Sekolah terhadap Minat Baca Siswa. Jurnal Kependidikan, 12(1), 45–58.
- IFLA. (2015). School Library Guidelines. International Federation of Library Associations.
- Lance, K. C., & Kachel, D. E. (2018). Why School Librarians Matter: What Years of Research Tell Us. Phi Delta Kappan, 99(7), 15–20.
- Nasrullah, R. (2023). Literasi Digital dan Pengaruhnya terhadap Keterlibatan Publik di Media Sosial. Jurnal Digital Society, 4(2), 101–118.
- Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. (2022). Kajian Tingkat Kegemaran Membaca dan Indeks Literasi Masyarakat Indonesia. Perpusnas Press.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar